The Evil Theory

Zethaichi Saigon

Hell Gate Night

There is someone from Hell

Kamis, 04 Februari 2010

Diposting oleh The Ford of Social

Pada era kolonial, menurut Markus Vink (2003), Kerajaan Belanda memiliki 3 jalur utama perdagangan budak yaitu :

(1) Jalur Afrika Timur yang meliputi Madagaskar, Mauritius dan Reunion
(2) Jalur Asia Selatan yang meliputi Malabar, Caramandel dan Pantai Bengali
(3) Jalur Asia Tenggara yang meliputi Malaysia, Indonesia, Papua dan Filipina Selatan.

Dan secara khusus perdagangan budak yang dilakukan oleh kolonial Belanda di nusantara menguat ketika kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan kehilangan otoritasnya pada tahun 1669. Sehingga demikian jalur perdagangan budak di Makassar menjadi jalur utama selain Bali.

Makassar sendiri menjadi pelabuhan untuk transit perdagangan budak yang berasal dari Kalimantan, Sulawesi, Buton, Sumbawa, Lombok Bima, Manggarai, Solor dan dari Kepulauan Maluku. Sedangkan Bali, selain dari penduduk asli Bali sendiri, Bali menjadi transit bagi budak asal Papua.

Tercatat dari sekitar 10.000 budak yang mendarat di Batavia dari tahun 1653 sampai dengan tahun 1682, 41,66% berasal dari Sulawesi Selatan, 23,98% dari Bali, 12,07% dari Buton, 6,92% berasal dari Nusa Tenggara dan 6,79% berasal dari Maluku (Ambon dan Pulau Banda).

Dan perdagangan budak pun akhirnya meluas ke nusantara bagian barat pada akhir abad 18 yang melahirkan peluang bagi kelompok pendatang baru lainnya berkuasa, yaitu pedagang budak dan perompak Ilanun dari Kepulauan Sulu. (Ricklefs, 2008)

Batavia sendiri menjadi pelabuhan internasional perdagangan budak pada masa itu atau menurut istilah Markus Vink (2003) sebagai “Central Rendezvous” yang kemudian dijual ke seluruh tempat di Asia hingga ke Srilangka dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Sementara itu sebagian budak-budak lainnya dipekerjakan di tanah-tanah pertanian dan perkebunan di Pulau Jawa. Ada juga yang bekerja di perusahan “Ekspor-Impor Budak” yang berjumlah ratusan (pada saat itu bisnis perbudakan memang menguntungkan) yang berada di Pulau Onrust sebagai pekerja galangan kapal.

Tahun 1814, Raffles (2008) melakukan sensus terhadap jumlah budak di Pulau Jawa, yaitu sebagai berikut :

Batavia dan sekitarnya … 18.972 jiwa
Semarang … 4.488 jiwa
Surabaya … 3.628 jiwa
Total … 27.142 jiwa

Para budak ini menurut Raffles (2008) dimiliki oleh orang Belanda dan Tionghoa. Sedangkan para pemimpin local tidak membutuhkan budak. Pemerintahan Hindia Belanda sendiri mengadopsi hukum Romawi dalam pengaturan budak-budaknya meskipun tidak sepenuhnya dipraktekan. Dan kebanyakan budak-budak ini bekerja di perumahan bukan di perkebunan sebagaimana para budak di perkebunan India Barat.

Dasar pemerintah Hindia Belanda membolehkan perbudakan bukan karena mereka tidak mampu memerintahkan penduduk lokal untuk bekerja di rumah-rumah orang Eropa, tetapi karena mereka merasa orang luar Jawa lebih rajin dan teliti sehingga tepat sebagai pekerja rumah tangga dan sebagai budak yang tinggal seumur hidup di rumah mereka untuk bekerja.Untuk mengatasi permasalahan budak ini, Raffles membuat aturan yang ketat untuk mengurangi perbudakan, diantaranya :

(1) Mencegah pengiriman budak ke Pulau Jawa
(2) Dikeluarkan suatu aturan bahwa perbudakkan dianggap sebagai praktek kejahatan.

Dan akhirnya pemerintah Hindia Belanda secara resmi melarang perbudakan pada tanggal 1 Januari 1860 setelah terjadi perdebatan yang cukup panjang antara Partai Liberal yang menginginkan agar perbudakan segera dihapuskan dengan Partai Konsenvartif yang menginginkan perbudakan dihapus secara bertahap.

Hal ini tidak lepas juga dari peranan dari van Hoevell seorang anggota parlemen yang memperhatikan kehidupan para penduduk di Pulau Jawa saat itu. Pada dasarnya van Hoevell tidak menentang prinsip eksploitasi koloni untuk kepentingan Belanda, tetapi kewajiban pertama pemerintah haruslah menjaga dengan baik kepentingan penduduk aslinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Search the Blog